Jumat, 29 April 2011

makalah “Dampak kepadatan lalulintas Kota Yogyakarta terhadap ekonomi masyarakat Kota Yogyakarta? “

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Transportasi sebagai urat nadi kehidupan sangat dituntut dalam peranannya dalam roda pembangunan negara. Pada dasarnya fungsi dari sistem transportasi beserta sarana dan fasilitasnya adalah sebagai elemen yang  menghubungkan titik-titik yang terpisah di dalam ruang dengan berbagai mekanisme yang terdapat di dalamnya.
            Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang mengalami pertumbuhan pesat. Kota ini terkenal sebagai kota pelajar dan budaya karena mempunyai banyak institusi pendidikan dan merupakan tempat dimana salah satu universitas negeri terbesar, tertua dan terkenal di Indonesia berada. Sehingga tidak mengherankan apabila kota ini menjadi tujuan utama para pelajar dari berbagai kota bahkan dari berbagai pulau di Indonesia yang ingin melanjutkan studi.
Pertumbuhan di kota Yogya digerakkan oleh bermacam–macam jenis perdagangan (terutama sektor retail), pariwisata dan pendidikan. Dengan pertumbuhan yang pesat tersebut,  dapat dilihat bahwa sekarang hampir tidak ada ruang kosong di kota ini. Kemampuan lahan di kota ini pun semakin menurun. Salah satu contoh kongkritnya adalah di daerah antara sungai Winongo dan Code, dimana luas areanya hanya 39% dari luas wilayah, namun dimukimi lebih dari 45 % penduduk kota ( PUSTRAL, 2005 ).
            Dengan tingginya perkembangan dan pertumbuhan kota Yogya, sektor transportasi perkotaan mempunyai peranan yang penting, karena sektor tersebut sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi aktivitas sosial-ekonomi penduduk kota. Diantara berbagai macam aspek transportasi, daya dukung jalan merupakan salah satu aspek yang cukup berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi transportasi.
            Pertumbuhan kota Yogya yang pesat tentunya berimplikasi ke sektor transportasi di kota tersebut. Jumlah kendaraan yang melewati jalan–jalan dikota Yogya, terutama kendaraan bermotor, meningkat cepat, sehingga kemampuan dan daya dukung jalan untuk menampung  mobilitas penduduk, barang dan jasa sangat penting.  

B.     Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas penulis merumuskan masalah :  “Dampak kepadatan lalulintas Kota Yogyakarta terhadap ekonomi masyarakat Kota Yogyakarta? “

C.    Tujuan
            Tujuan Pembuatan makalah ini adalah
1.      Mengetahui Dampak kepadatan lalulintas Kota Yogyakarta terhadap  ekonomi masyarakat Kota Yogyakarta.
2.      Menemukan solusi kepadatan lalulintas Kota Yogyakarta.










BAB II
Kajian Pustaka

1.      Teori Ledakan Penduduk Thomas Robert Malthus
Pertambahan penduduk diibaratkan deret kali atau deret ukur, sedangkan peningkatan sarana-sarana kehidupan berjaan lebih lambat, yakni menurut deret hitung atau deret tambah.

2.      Teori Daya Sentrifugal dan Sentripental Charles O. Colby
Isi pokok teori yang menyebabkan pada masyarakat kota terjadi daya dan sentrifugal adalah sebagai berikut :
Terdapat ganguan yang sering berulang, seperti kemacetan lalulintas serta polusi udara dan bunyi menyebabkan penduduk kota merasa tidak nyaman bertempat tinggal di tempat itu.

3.      Teori Kota Konsentris Burges
1.      Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel restoran dan sebagainya.
2.      Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
3.      Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini workingmen's homes.
4.      Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
5.      Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6.      Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.

4.      Kemacetan Lalulintas

Kemacetan lalu-lintas adalah terganggunya pergerakan kendaraan bermotor dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini disebabkan karena kurangnya infrastruktur jalan serta begitu cepatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.  

5.      Kegiatan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat baik di desa dan di kota dapat kita bagi menjadi tiga macam atau jenis, yakni :
a.        Kegiatan Produksi
Kegiatan produksi adalah suatu pekerjaan atau kegiatan yang menghasilkan produk barang atau jasa. Contoh kegiatan produksi adalah seperti membuat tas, pempek palembang, untuk dijual atau menawarkan jasa tukang cukur rambut di bawah pohon jamblang.
b.      Kegiatan Distribusi
Kegiatan distribusi adalah suatu pekerjaan atau kegiatan yang menyalurkan produk barang ataupun jasa dari produsen ke konsumen dengan berbagai teknik dan cara. Pihak yang melakukan distribusi adalah distributor atau dalam bahasa indonesianya adalah penyalur. Contoh kegiatan distribusi adalah agen koran, agen tenaga kerja, agen makanan ringan atau snack cemilan, dan masih banyak lagi contoh lain.
c.       Kegiatan Konsumsi
Kegiatan konsumsi adalah pekerjaan atau kegiatan yang memakai atau menggunakan suatu produk barang atau jasa yang diprosuksi atau dibuat oleh produsen. Contoh kegiatan konsumsi adalah seperti makan di warteg, nyukur jenggot di tukang pangkas rambut, berobat ke dokter kandungan, beli combro dan misro untuk dimakan sendiri atau berame-rame, dsb.








BAB III
Pembahasan

      Kota Yogyakarta mempunyai luas area sekitar 32,5 km2 dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa. Kepadatan penduduknya sekitar 14.000 jiwa/km2 yang meningkat hampir empat kali lipat di siang hari.
Masyarakat Kota Yogyakarta umumnya bekerja di sektor jasa dan perdagangan. Sektor pertanian tidak terdapat di Kota Yogyakarta. Sektor pertanian banyak terdapat di kabupaten lain di luar Kota Yogyakarta. Seperti di Kulonprogo, Sleman, Bantul, serta Gunung Kidul. Namun di daerah Gunung Kidul agak sulit untuk mengembangkan sektor pertanian karena di sana tanahnya tandus. 
Dengan keadaan demikian Kota Yogyakarta hampir mendekati kota konsentris yang diungkapakan oleh Burges. Namun tidak sepenuhnya teori Burges benar-benar ada di Kota Yogyakarta. Sebagai buktinya daerah pusat Kota Yogyakarta penuh sesak dengan perkantoran-perkantoran baik swasta maupun pemerintaan. Serta toko-toko yang banyak tersebar di pusat kota.
Sebagai Ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta merupakan kota yang sangat padat dan penuh dengan aktifitas baik pemerintahan DIY maupun aktifitas masyarakat Kota Yogyakarta yang beragam. Selain itu kota Yogyakarta merupakan salah satu tempat tujuan pariwisata baik dari dalam negri maupun macanegara. Tak pelak ini menambah kepadatan kota Yogyakarta yang semakin ramai.
Kota Yogyakarta sekarang mungkin sangat berbeda dengan kota Yogyakarta 30 tahun yang lalu. Saat ini kota Yogyakarta sangat padat dan penuh sesak dengan segala kegiatan penduduknya yang semakin bertambah banyak. Pertumbuhan penduduk Yogyakarta sepertinya semakin banyak namun infrastruktur tidak dapat mengikuti pertumbuhan penduduk.
Selain sebagai tujuan pariwisata, kota Yogyakarta merupakan salah satu kota pendidikan di Indonesia. Tak pelak jika saat ini banyak perguruan tinggi-perguruan tinggi baru yang banyak muncul di Yogyakarta. Seiring dengan banyaknya kemunculan perguruan tinggi- perguruan tinggi tersebut maka akan semakin banyak calon mahasiswa yang akan datang ke kota Yogyakarta yang senakin menambah sesak kota Yogyakarta. Kedatangan para mahasiswa dari berbagai daerah biasanya juga menyertakan kendaraan pribadinya dari kota asalnya. Tak pelak keadaan ini semakin menambah padat kendaraan yang ada di jalan-jalan kota Yogyakarta.
Kota Yogyakarta mempunyai 467 jalan, dengan panjang total 441 km (DISHUB DIY, 2005). Jumlah total kendaraan bermotor di DIY sekitar 749.273 unit dan hampir semuanya bergerak ke kota Yogya pada siang hari. Di satu sisi jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta akan terus meningkat, sementara di sisi lain jumlah jalan relatif konstan. Maka bisa dipastikan bahwa lambat laun daya dukung jalan akan tidak mencukupi untuk mendukung dan menampung mobilitas kendaraan di Kota Yogyakarta. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya  kemacetan lalu lintas yang terjadi hampir setiap pagi, siang, sore, dan malam di beberapa ruas jalan besar di Kota Yogyakarta, seperti terlihat di perempatan MM UGM, perempatan Mirota Kampus, perempatan Tugu, perempatan Jalan Magelang, depan Saphir square, bahkan di perempatan Condong Catur Ring Road Utara.
Jalan yang ada tidak dapat menampung jumlah kendaraan yang menuju kota pada saat yang bersamaan. Dengan semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta (mencapai 8000 per bulan), bisa dipastikan permasalahan transportasi perkotaan ini (kemacetan dan lain–lain) akan menjadi semakin parah dan sukar diperbaiki. Kondisi jalan yang sudah tidak mendukung lalu lintas transportasi semakin diperparah dengan penggunaan badan jalan sebagai lahan parkir daerah perdagangan dan pedagang kaki lima (sebagaimana tampak di beberapa ruas jalan).
Ketidakmampuan daya dukung jalan yang ada terhadap mobilitas kendaraan bermotor, yang bermuara pada masalah seperti kemacetan tentunya banyak membawa dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain polusi udara yang mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah pemborosan energi, waktu, dan biaya dari pengguna jalan karena terjebak kemacetan. Selain itu, aktivitas ekonomi masyarakat juga menjadi terganggu, tidak efektif dan efisien. Dampak lain berupa semakin menurunnya kualitas dan kuantitas jalan karena dipaksa menampung beban yang tidak dicukupi oleh kapabilitasnya.
Selain itu kesadaran akan taat lalulintas bagi sebagian warga Yogyakarta saat ini semakin pudar. Ini dibuktikan dengan banyaknya pengendara yang menerobos lampu merah serta melanggar rambu-rambu lalulintas. Dengan keadaan demikian pastilah akan terjadi kemacetan di jalan-jalan utama di kota Yogyakarta.
Kemacetan merupakan masalah yang muncul dengan kepadatan kendaraan serta kurangnya kesadaran beralulintas. Masalah kemacetan akan berdampak bagi berbagai sektor penting yang ada di kota Yogyakarta, salah satunya sektor ekonomi. Kegiatan ekonomi yang ada di kota Yogyakarta akan terhambat dengan kemacetan yang muncul di jalan-jalan kota Yogyakarta.
Kegiatan ekonomi dari masyarakat Kota Yogyakarta akan terganggu. Kegiatan produksi, distribusi, serta konsumsi masyarakat akan sangat terganggu dengan terhambatnya lalulintas di Kota Yogyakarta.
            Berlangsungnya kegiatan ekonomi warga Yogyakarta tidak terlepas dari peranan lalulintas kota Yogyakarta sendiri. Para karyawan, pedagang, pembeli, produsen dan konsumen semua memanfaatkan transportasi jalan untuk mendukung kegiatan ekonominya. Jika lalulintas jalan di kota Yogyakarta macet, maka bias jadi kegiatan ekonominya juga terhambat.
            Tingginya tingkat kemacetan memiliki dampak negatif bagi masyarakat, khususnya para pengguna jalan yang terjebak kemacetan. Selain dari segi waktu seperti banyaknya waktu yang terbuang di jalan, dari segi ekonomi dapat kita rasakan dampaknya dengan banyaknya energi bahan bakar yang terbuang percuma, tingkat kehausan kendaraan lebih tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang pendek, radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih tinggi, dan meningkatnya polusi udara akibat dari asap kendaraan bermotor, hal ini dapat berakibat bagi kesehatan masyarakat sendiri dan bagi kendaraan mereka dapat membuat mesin kendaraan cepat rusak.
Selain dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat, dampak bagi perekonomian secara global juga dapat dirasakan, dengan semakin cepat rusaknya infrastuktur jalan akibat dari banyaknya volume kendaraan yang melintasi ruas jalan tersebut. Bila terus dibiarkan dikhawatirkan pada beberapa tahu ke depan kendaraan roda dua dan empat tidak dapat lagi melewati ruas-ruas jalan yang ada di kota-kota besar, sedangkan masalah transprtasi merupakan masalah yang sangat penting dalam mendukung kegiatan/mobilitas masyarakat.
            Oleh karena itu, perlu adanya solusi agar kota Yogyakarta terbebas dari kemacetan. Berbagai solusi yang yang seharusnya dilakukan antara lain :
1.      Pelebaran Dan Penghalusan jalan
Pelebaran dan penghalusan jalan juga mempunyai sedikit kontribusi pada permasalahan transportasi yang dihadapi Yogyakarta, dimana jalan yang sempit akan menghambat laju transportasi sehingga mempunyai kemungkinan menyebabkan kemacetan, begitu pula dengan kualitas jalan ( kualitas pengaspalan jalan), misalnya jalan yang banyak berlubang juga akan menghambat laju perjalanan kendaraan yang berakibat pada efektifitas perjalanan, selain itu juga mempunyai resiko mengakibatkan kecelakaan. Dengan dilakukan pelebaran dan penghalusan jalan, maka jalan akan dapat menampung jumlah kendaraan yang lebih banyak dan lebih lancar, sehingga beban jalan dan permasalahan kemacetan dapat dikurangi.
2.      Kajian Rute Alternatif
            Berkurangnya daya dukung jalan untuk mendukung arus transportasi yang menyebabkan terjadinya masalah transportasi seperti kemacetan disinyalir disebabkan antara lain masuknya kendaraan dalam jumlah besar pada waktu yang sama ke jalan – jalan utama di yogyakarta. Oleh karena itu, untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh jalan – jalan utama,  dan untuk mengurangi kemacetan yang ditimbulkan, dapat dilakukan upaya pembukaan jalur alternatif yang sebenarnya potensial dan selama ini mungkin kurang diminati penggunaannya kemungkinan karena belum tersosialisasi dengan baik atau kondisinya rusak (tidak rata dan berlubang) sehingga harus diperbaiki dan disosialisasikan dengan lebih baik supaya dapat menarik pengguna jalan sehingga penggunaan jalan dapat terdistribusi merata dan beban jalan utama dapat lebih berkurang.
3.      Penataan transportasi publik agar penggunaan kendaraan pribadi berkurang.
Sarana transportasi publik di Yogyakarta sudah lama terkenal tidak efektif, tidak nyaman, tidak efisien dari segi waktu perjalanan dan lebih mahal daripada menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu trayek yang ada dipandang tidak optimal karena terdapat banyak overlapping trayek yang juga bermuara pada kemacetan jalan. Oleh karena itu penataan kembali transportasi publik di kota Yogyakarta sangat perlu dilakukan agar masyarakat dapat kembali tertarik untuk menggunakan transportasi publik, sehingga penggunaan kendaraan pribadi dapat berkurang. Penataan ini dapat berupa perampingan dan pengaturan kembali trayek agar lebih optimal,peremajaan armada bus ( sekaligus mengurangi polusi udara yang diakibatkan asap buangan kendaraan lama yang terkenal kurang perawatannya dan pada umumnya sudah berumur lama ), dan atau penambahan jam operasional hingga malam hari (sehingga dapat menampung mobilitas penumpang pada malam hari dan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di malam hari).


           
Implikasi
            Penataan kota memang sebaiknya menganut teori Kota konsentris Burgess agar kepadatan kota dan lalulintas dapat diminimalisir. Namun teori kota konsentris Burgess sepertinya tidak dapat diterapkan di Indonesia. Ini terjadi karena tidak semua kota di Indonesia merupakan sentra industri. Selain itu kota-kota di Indonesia sudah padat dan mungkin sulit untuk ditata seperti teori kota konsentris.
            Penataan ruang dan kota Yogyakarta sangat berpengaruh pada berlangsungnya kegiatan ekonomi di kota Yogyakarta. Penataan kota dan ruang Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini yang memfokuskan daerah pemukiman di utara Daerah Istimewa Yogyakarta, sentra industri berada di selatan dan  pusat pemerintahan berada di pusat kota Yogyakarta.
            Daya Sentrifugal mulai muncul di kota Yogyakarta yaitu terdapat ganguan yang sering berulang, seperti kemacetan lalulintas serta polusi udara dan bunyi menyebabkan penduduk kota merasa tidak nyaman bertempat tinggal di tempat itu. Bisa jadi kota Yogyakarta akan berekspansi. Makin meluasnya kota Yogyakarta dan berubahnya tata guna lahan. Ini bias jadi akibat dari makin padatnya kota Yogyakarta.
            Kepadatan Yogyakarta akan berdampak pada lalulintasnya. Lalu lintas Yogyakarta akan semakin padat. Dengan padatnya transportasi di Yogyakarta bisa jadi akan menyebabkan kemacetan. Kemacetan yang berkepanjangan akan merugikan kegiatan ekonomi di kota Yogyakarta.










Daftar Pustaka

Supardan, Dadang. 2007. Pengantar Ilmu Sosial ; Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta : Bumi Aksara


           

           
           





makalah antropologi

TUGAS PENGANTAR ILMU SOSIAL
“ANTROPOLOGI”


KELOMPOK 2 :
1.      FX PRASETYA K. P.                        101334002
2.      DIAN AYU MARUTTI                    101334010
3.      BERTA BANAR RESTI                   101334037
4.      DESY SETYA PERWITASARI       101334026
5.      ERVINA KURNIASIH                    101334036
6.      DIDIK KRISTIANTO                       101334062
7.      GEOVAN AUDY                              092114022


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada  Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini. Kami juga bersyukur atas berkat dan kesehatan yang Tuhan berikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan-bahan materi ini dengan baik.
  Tugas ini dirancang dan ditulis untuk mencapai beberapa tujuan. Tujuan utama adalah untuk memperluas pengetahuan tentang antropologi
Kami sadar bahwa tugas yang kami buat ini masih jauh dari sempurna,karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan tugas ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
Demikianlah tugas ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf dan terimakasih.











A.                PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI
Istilah antropologi berasal dari bahasa yunani, asal kata antrhopos berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian, secara harafiah antropologi berarti ilmu tentang manusia. Para antropolog mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya.
Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaannya.
Secara makro, antropologi dibagi dalam dua bagian, yakni antropologi fisik dan antropologi budaya.
1.      Antropologi Fisik
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organism biologis yang melacak perkembangan manusi menurut evolusinya dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (spesies). Melalui aktifitas analisis yang mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatan pada primata-primata yang pernah hidup, para ahli antropologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi mahluk seperti sekarang ini. (Haviland, 1999: 13)
2.      Antropologi Budaya
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social, bentuk-bentuk ekspresif, dan peggunaan bahasa, dimana makna diciptakan dan diuji sebelum digunakan oleh manusia (Burke, 2000 :193). Menurut Haviland (1999: 12) cabang antropologi budaya ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi, antropologi linguistic, dan etnologi.
a.      Arkeologi
Arkeologi adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari benda-benda peninggalan lama dengan maksud untuk menggambarkan serta menerangkan perilaku manusia karena dalam peninggalan-peninggalan lama itulah terpantul ekspresi kebudayaannya.

b.      Antropologi Linguistik
Ernest Cassier (1951 : 32) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mahir dala menggunakan symbol-simbol sehingga manusia disebut homo symbolicium. Karena itulah manusia dapat berbahasa, berbicara dan melakukan gerakan-gerakan lainnya yang juga banyak dilakukan oleh makhluk-makhluk lain yang serupa dengan manusia. Akan tetapi hanya manusia yang dapat mengembangkan system komunikasi lambang atau symbol yang begitu kompleks karena manusia memang memiliki kemampuan bernalar. Disinilah antropologi linguistic berperan.
c.       Etnologi
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiannya pada kebudayaan-kebudayaan jaman sekarang, telaahnyapun terpusat pada perilaku manusianya, sebagaimana yang dapat disaksikan langsung, dialami, serta didiskusikan dengan pendukung kebudayaannya. Dengan demikian etnologi ini mirip dengan arkeologi, bedanya dalam etnologi kekinian yang dialami dalam kehidupan sekarang, sedangkan arkeologi tentang kelampauan yang sangat klasik. Oleh karena itu, benar ungkapan Kluckhon (1965) yang mengatatakan bahwa alhi etnografi adalah ahli arkeologi yang mengamati arkeologinya hidup-hidup. Seorang ahlii etnologi maupun etnografi harus terjun ke lapangan serta hidup di tengah-tengah mereka untuk mengamati kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Dari Penggunaan bahasa mereka dan tradisinya, seorang penulis etnografi berusaha menjadi pengamat yang terlibat jauh lebih baik daripada ahli antropologi di belakang meja atau armchair anthropologist (Haviland, 1999 : 17).

Secara keseluruhan, yang termasuk bidang-bidang khusus secara tematis dalam antropologi lainnya, selain antropologi fisik dan kebudayaan adalah antropologi ekonomi, antropologi medis, antropologi psikologi, dan antropologi sosial.

1.      Antropologi Ekonomi
Bidang ini merupakan cara manusia dalam mempertahankan dan mengekspresikan diri melalui penggunaan barang dan jasa material (Gudeman, 2000 : 259). Antropologi ekonomi berusaha merangkum aspek etnografis dan teoritis, sekalipun keduanya acap kali bertentangan. Sebab di satu bidang kajian ini pun membantu pengujian atas teori-teori ekonomi pada umumnya. Di sisi lain, bidang lain pun dipengaruhi cabang-cabang lain dari ilmu ekonomi, khususnya aliran mikro dan neo klasik. Melalui pengkajian pendekatan neoklasik, membuat para pemerhati antropologi ekonomi pun meyakini asumsi-asumsinya, seperti reasonalitas setiap individu, pengutamaan kalkulasi, optimalisasi, dan sebagainya yang tidak begitu relevan terhadap pendekatan-pendekatan lain yang lebih umum dalam antropologi (Gudeman, 2000 : 259). Sedangkan ekonomi makro ternyata tidak banyak member pengaruh terhadap antropologi ekonomi.
2.      Antropologi Medis
Antropologi medis merupakan subdisiplin yang sekarang paling populis di Amerika Serikat, bahkan tumbuh pesat di mana-mana. Antropologi medis ini banyak membahas hubungan antara penyakit dan kebudayaan yang tampak mempengaruhi evolusi manusia, terutama berdasarkan hasil-hasil penemua paleopatologi (Foster dan Anderson, 1986 : vi). Begitu luasnya ruang lingkup antropologi medis tersebut, sampai sekarang tidak mudah untuk didefinisikan subjek kajiannya. Namun, yang jelas minat meneliti berbagai reaksi orang dalam masyarakat dan budaya tertentu terhadap tubuh yang menderita penyakit, telah menjadi cirri antropologi medis sejak awal mula terbentuknya sampai masa sekarang. Terutama yang berjasa dalam perkembangan disiplin ini adalah Foster dan Anderson yang menulis karyanya Medical Anthropology (1978(1986)), dususul oleh McElory dan Townsend dalam bukunya Medical Antropology in Ecological Perspective (1985).
3.      Antropologi Psikologi
Bidang ini merupakan wiilayah antropologi yang mengkaji tentang hubungannya antara individu dengan makna dan nilai dengan kebiasaan social dari system budaya yang ada (white, 2000: 856). Adapun ruang lingkup antropologi psikologi tersebut sangat luas dan menggunakan berbagai pendekatan pada masalah kemunculan dalam interaksi antara pikiran, nilai, dan kebiasaan social. Kajian ini dibentuk secara khusus oleh percakapan indisipliner antara antropologi dan lingkup lain dalam ilmu-ilmu social serta humaniora ( Schwartz, 1992). Sedangkan focus kajian bidang ini terpusat pada individu dalam masyarakat makin mendekatkan hubungan dengan psikologi dan psikiatri disbanding dengan mainstream antropologi. Namun, secara historis bidang antropologi psikologi tersebut lebih dekat pada psikoanalisis daripada psikologi eksperimental.
4.      Antropologi Sosial
Bidang ini mulai dikembangkan oleh James George Frazer di Amerika Serikat pada awal abad ke-20.  Dalam kajiannya, antropologi social mendeskripsi proyek evolusionis yang bertujuan untuk mengkonstruksi masyarakat primitive asli dan mencatat perkembangannya melalui berbagai tingkat peradaban. Selanjutnya, pada tahun 1920-an di bawah pengaruh Brosnilaw Malinowski dan A.R. Radecliffe-Brown, penekanan pada antropologi social Inggris bergerak menjadi suatu studi komperatif masyarakat kontemporer (Kuper, 2000 : 971).
Prancis merupakan salah satu Negara eropa barat yang secara gigih memberikan pengaruh kuat terhadap perkembangan antropologi social di eropa. Pada tahun 1989, didirikan Eroupean Association of Social Anthropologists, yang kemudian dengan berbagai konverensi dan publikasinya tahun 1992 diterbitkan jurnal Social Anthropology, dan bersamaan dengan itu pula banyak diciptakan berbagai teori social kotemporer (Kuper, 1992), mereka bereksperimen dengan suatu kisaran yang luas dari strategi penelitian yang bersifat  komparatif, historis, dan etnografis. Sedangkan tradisi penelitian lapangan etnografi tetap kuat di mana Eropa sekarang pun merupakan salah satu pusat para peneliti antropologi social.











B.                 TUJUAN DAN KEGUNAAN ANTROPOLOGI

            Kerja lapangan dalam antropologi, selama ini merupakan karya penyelamatan, di samping sebagai upaya yang bersumber pada keprihatinan politis juga merupakan tindakan yang didorong oleh minat pada suatu persoalan tertentu. Setiap antropolog yang memulai penelitian lapangan perdananya, pada umumnya mencari suatu bangsa atau kelompok yang belum pernah diteliti. Tujuannya adalah untuk memperluas arena perbandingan disamping untuk merekam berbagai budaya sebelum budaya-budaya itu lenyap. Mungkin jika antropologi mengikuti kebijaksanaan pengkajian ulang secara lebih sistematis, khususnya dengan penelitian yang berbeda-beda untuk objek yang sama, akumulasinya dapat individual yang kemudian akan cenderung saling meredam subjektivitas sehingga membuahkan pemahaman yang lebih mendekati objektivitas sebagai sesuatu kajian yang diangankan.
            Antropologi merupakan studi tentang  umat manusia dan tidak hanya sebagai disiplin ilmu yang bersifat akademis tetapi juga merupakan suatu cara hidup yang berusaha menyampaikan kepada para siswa apa yang telah diketahui orang. Oleh karena itu, kerja lapangan dalam antropologi sungguh-sungguh merupakan suatu inisiasi karena menimbulkan suatu transformasi. Begitu pun dengan pengalaman karena memberi  kemungkinan-kemungkinan untuk pengungkapan diri (self expression) dan cara hidup baru yang menuntut suatu penyesuaian baru kepada segala sesuatu.
            Antropologi melalui pendekatan dan metode ilmiah berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang manusia dan perilakunya dan untuk mendapat pengertian yang tidak apriori serta prejudice tentang keanekaragaman manusia. Kedua bidang besar dari antropologi adalah antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai organisme biologis yang tekanannya pada upaya melacak evolusi perkembangan manusia dan mempelajari variasi-variasi biologis dalam species manusia. Sedangkan antropologi budaya  berusaha mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Di mana kebudayaan dapat merupakan peraturan-peraturan  atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
            Di antara ilmu-ilmu sosial dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan, tujuan , dan manfaat yang unik karena bertujuan dan bermanfaat  dalam merumuskan penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas semua aspek biologis manusia dan perilakunya di semua masyarakat.
            Selain itu, antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secara objektif paling tidak mendekati objektif dan sistematis. Seorang antropologi dituntut harus mampu menggunakan metode-metode yang mungkin juga diguanakan oleh para ilmuwan lain dengan mengembangkan hipotesis atau penjelasan yang dianggap benar menggunakan data lain untuk mengujinya, dan akhirnya menemukan suatu teori, yaitu suatu sistem hipotesis yang telah teruji. Sedangkan data yang digunakan ahli antropologi dapat berupa data dari suatu masyarakat atau studi komparatif di antara sejumlah besar masyarakat.       






















C.                 HUBUNGAN ANTROPOLOGI DENGAN ILMU SOSIAL LAINNYA
·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Politik
Antropologi menyumbang pengertian dan teori tentang kedudukan serta peranan-peranan dan satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan sederhana. Hasil penyelidikan antropologi yang menyangkut aspek cultural termasuk dalam gagasan dan lembaga politik yang dapat menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan politik.

·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Etika
Etika memberikan dasar moral kepada antropologi mana yangtidak boleh dikerjakan. Karena untuk penelitian antropologi sering para peneliti tidak mengutamakan etika sehingga dapat kaedah-kaedah yang diatur pemerintah. Dengan adanya ilmu etika diharapkan penelitian atua praktek antropologi dapat memperhatikan dan mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.

·         Ilmu Antropologi dengan Sejarah
Sejarah menyumbang bahan yang berupa fakta dan data masa lampau yang dapat dijadikan sebagai pola ulang dalam menentukan proyeksi masa depan. Sejarha dan antropologi merupakan satu kesatuan yang mana antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan kebudayaan. Sedangkan sejarah sudah termasuk di dalamnya.

·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Filsafat
Filsafat merupakan usaha untuk secara rasional dalam mencari pemecahan atau jawaban atas pertanyaan yang menyangkut mengenai kehidupan manusia. Untuk menunjang antropologi, filsafat juga dibutuhkan sebagia pandangan hidup bagi kehidupan bermasyarakat.

·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Psikologi
Psikologi mempelajari dan menyelidi pengalaman dan tingkah laku individu manusia yang dipengaruhi oleh situasi-situasi sosial. Sebagaimana yang diketahui antropologi mempelajari tentang manusia dan psikologi menyelidiki pengalaman dan tingkah laku manusia. Adanya hubungan yaitu dengan menggunakan analisa psikologi, maka ilmu antropologi dapat menganalisa secar amendalam apa saja yang terjadi di masa lalu.

·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Hukum
Hubungan antara ilmu antropologi dengan ilmu hukum terletak di dalam peranan hukum sebagai pembentuk peraturan-peraturan dalam mengkaji antropologi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi membantu ilmu antropologi dalam mempelajari susunan kemasyarakatan, latar belakang, serta kebudayaan manusia dan pola kehidupan manusia. Sehingga dengan adanya sosiologi dapat mempermudah sarjana dalam mengkaji ilmu antropologi.

·         Ilmu Antropologi dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu antropologi dengan ilmu ekonomi saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Kekuasaan ekonomi bersifat universal dalam membentuk wujud yang bermacam-macam, karena perubahan dalam hidup masyarakat lebih cepat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Sedangkan antropologi yang mempelajari manusia dimana manusia itu sendiri tidak dapat lepas dari pengaruh ekonomi.









D.                 OBJEKTIVITAS DALAM ANTROPOLOGI

Masalah lama dalam ilmu-ilmu sosial yang belum terpecahkan sampai sekarang adalahmengenai kesenjangan peneliti. Sebab bagaimana mungkin dapat diharapkan tercapainya ilmu pengetahuan yang objektif mengenai fenomena sosio-kultural bila praktisi ilmu sosial adalah sekaligus sebagai ideologinya? Barangkali soal inilah yang paling sulit dan jadi kendala, terutama dalam antropologi karena dalam cara pengumpulan data dasarnya yang rumit dalam persoalan tersebut. Secara tradisional menurut David Kapplan dan Albert A. Manners, antropologi berkecimpung selama satu tahun atau lebih dalam kancah suatu budaya yang eksotik yang dipelajarinya, mengamati lembaga-lembaga, pranata, dan cara hidup (Kapplan dan Manners, 1999: 32). Selanjutnya Kapplan dan Manners mengemukakan sebagai berikut.

Kemudian antropolag itu pulang dan menulis laporan mengenai “Cara Hidup Suku ....” Akan tetapi, seberapa jauhkah catatan itu merupakan pantulan bias pribadi si antropolog itu sendiri, rasa suka dan tidak sukanya sendiri? Masalah ini berulang kali disadari dengan penuh keprihatinan oleh para antropolog. Mungkin kasus yang klasik ialah Tepoztlan, suatu dusun di Meksiko Selatan. Etnografi awal mengenai Tepoztlan disusun oleh Robert Redfield pada akhir tahun 1920-an. Gambaran yang muncul dari catatan itu ialah suatu komunitas yang harmonis, egaliter, tenteram, dan damai.
Hal itu berbeda dengan laporan Oscar Lewis yang sama mempelajari Tepoztlan kira-kira 20 tahun setelah Redfield, mengemukakan masyarakat Tepoztlan sebagai komunitas yang ditandai dengan perbedaan tajam dalam hal kekayaan dan tercabik-cabik oleh konflik antarpribadi yang tinggi. Dapatlah dikatakan bahwa perbedaan kedua antropolog itu minimal terdapat dua kemungkinan.
1.      Terjadi karena memang adanya perubahan selama kurun waktu 20 tahun. Jika memang hanya karena perubahan selama 20 tahun, barangkali tidak mengancam objektivitas antropologi.
2.      Mereka memperoleh hasil yang berbeda karena ditentukan oleh bagaimanakah cara mereka memperoleh laporan, dimana kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, agama, dan ideologi ikut serta mempengaruhi penilaian baik dan buruk terhadap sesuatu yang dikajinya.
Untuk itu, menurut Kapplan dan Manners (1999: 32) semua ilmu sosial dan bukan hanya antropologi mengalami bias. Keliru jika kita bermaksud mendapatkan objektivitas dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku individu. Bukan di sana kita harus mencarinya, melainkan seperti ditulis oleh Karl Popper, objektivitas harus dicari dalam institusi dan tradisi kriritk suatu disiplin (Popper, 1964: 155-159). Hanya dengan saling menerima dan memberi kritik terbuka serta saling mempengaruhi antara bermacam-macam bias kita dapat berharap akan munculnya suatu yang mendekati objektivitas. Dengan kata lain, objektivitas hakiki sesuatu disiplin ilmu diupayakan dan ditingkatkan secara kumulatif dari masa ke masa. Catatan Redfielddan Lewis telah merangsang suatu pertukaran kritik dan ulasan yang didasarkan pada perbandingan antara kedua catatan itu dengan catatan-catatan mengenai komunitas petani lain, khususnya di Meksiko (Lewis, 1961: 174-184). Dari situ penulis yakin telah dihasilkan potret yang mendekati objektif mengenai kehidupan petani.
Jika semua orang termasuk antropolog memandang dunia melalui layar penyaring yang terbentuk dari nilai-nilai bias (tidak objektif) dari sudut pandang individual, apakah ilmu-ilmu sosial lainnya pun bebas nilai? Cukup banyak ilmuwan sosial yang menyangkal adanya kemungkinan tersebut. Karena semua pengetahuan mengenai fenomena sosiokultural niscaya memantulkan kesenjangan (bias ataupun subjektif) perseorangan. Maka pencarian objektivitas dan netralitas adalah angan-angan belaka yang tidak pernah trlaksana.
Salah satu kelemahan pendapat semacam itu adalah kaum antropolog berusaha menempatkan objektivitas itu dalam pemikiran dan sikap para peneliti. Padahal, tempat yang layak untuk mencari objektivitas adalah dalam tradisi kritik suatu disiplin. Sikap relavistik sepeti itu masih memiliki kelemahan lain, yaitu di sana tidak dibedakan antara apa yang oleh filsuf ilmu disebut sebagai konteks penemuan dengan konteks justifikasi (Kapplan dan Manners, 1999: 33). Kesenjangan dan nilai individual memiliki peran dalam konteks penemuan, tetapi keduanya tidak serta-merta dan tidak boleh memiliki peran penting dalam konteks justifikasi. Seperti yang Kapplan(1964: 232) kemukakan berikut.
. . .sementara pertanyaan tentang sumber suatu pengetahuan ilmiah dapat menjelaskan motivasi seorang ilmuwan dalam menyatakan gagasan tertentu, pernyataan tersebut tidak memiliki relevansi logis dengan suatu penilaian kritis tentang kesahihan atau validitas gagasan itu.
Selanjutnya Kapplan mengemukakan lebih jauh seperti beberapa kritikus tergoda untuk mengesampingkan rumusan Marx dengan alasan karena Marx seorang yahudi dan kurdistan. Alasan semacam itu jelas merupakan sesuatu yang tidak logis dan perlu diabaikan. Sebaliknya, gagasan dan teori-teori Marx akan tetap berdiri tegap maupun runtuh sesuai dengan kandungan kemampuan logis dan kebenaran gagasan keilmuan itu sendiri. Apapun yang menjadi sumber gagasan atau teori seseorang, jika kita tidak mau mengakui bahwa ada standar yang bersifat nonpersonal untuk menilai bukti dan argumentasinya maka antropologi dan mungkin seluruh ilmu sosial akan menjadi tidak lebih dari himpunan ideologi belaka (Kapplan dan Manners, 1999: 34).


















E.                 KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGI
            Penggunaan konsep dalam antropologi adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik merupakan tujuan setiap disiplin ilmu. Tapi untuk menyamakan persepsi tidak mudah, seperti menurut Keesing (1958: 152) yang mengemukakan bahwa tidak ada dua ahli antropologi yang berpikirnya sama persis, atau menggunakan dengan tepat pengoperasian konsep-konsep atau simbol-simbol yang sama.
            Konsep kebudayaan yang paling umum dapat dibagi menjadi,
1.      Kelompok kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks kehidupan manusia
2.      Kelompok kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi
3.      Kelompok kebudayaan sebagai cara dan aturan termasuk cita-cita, nilai-nilai, dan kelakuan
4.      Kelompok kebudayaan sebagai keterkaitan dalam proses-proses psikologis
5.      Kebudayaan sebagai struktur atau pola-pola organisasi kebudayaan
6.      Kelompok kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan manusia
7.      Kelmpok kebudayaan sebagai system symbol
            Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, diantaranya:
1.      Kebudayaan
      Istilah culture (kebudayaan) berasal dari bahasa Latin, yakni cultura dari kata dasar colere yang berarti berkembang tumbuh. Namun, secara umum pengertian kebudayaan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
       Para antropolog kemudian memberikan definisi yang beragam mengenai kebudayaan  yang dapat menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin ilmu. Selanjutnya, Keesing mengidentifikasi ada empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan.
a.       Memandang kebudayaan sebagai system adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosial.
b.      Memandang bahwa kebudayaan sebagai system kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu dan dapat diterima bagi warga kebudayaanya.
c.       Memandang kebudayaan sebagai system struktur dari symbol-simbol yang dimiliki bersama dan memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia.
d.      Memandang kebudayaan sebagai suatu system symbol yang terdiri atas symbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, dapat diidentifikasi, dan bersifat publik.
2.      Evolusi
      Secara sederhana, konsep evolusi mengacu pada sebuah transformasi yang berlangsung secara bertahap (McHenry, 2000:453). Dalam pandangan antropolog, istilah evolusi yang merupakan gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tidak pernah putus, pada umunya diterma sebagai awal landasan berpikir mereka.
3.      Daerah Budaya (Culture Area)
      Suatu daerah budaya (culture area) adalah suatu daerah goegrafis yang memiliki sejumlah cirri-ciri budaya dan kompleksitas lain yang dimilikinya (Banks,1977:274)
4.      Enkulturasi
      Konsep enkulturasi mengacu kepada suatu proses pembelajaran kebudayaan (Soekanto, 1993:167). Dengan demikian, pada hakikatnya setiap orang sejak kecil sampai tua, melakukan proses enkulturasi, mengingat manusia sebagia mahluk yang dianugerahi kemampuan untuk berpikir dan bernalar sangat memungkinkan untuk setiap waktu meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
5.      Difusi
      Difusi adalah proses penyebaran unsure-unsur kebudayaan secara meluas sehingga melewati batas tempat di mana kebudayaan itu timbul (Soekanto,1993:150). Dalam proses difusi ini erat kaitanya dengan konsep inovasi (pembaharuan).
      Menurut Everett M. Rogers dalam karyanya Diffusion of Innovation (1993), cepat tidaknya suatu proses difusi erat hubunganya dengan empat elemen pokok, yaitu (a) sifat inovasi; (b) komunikasi dengan saluran tertentu; (c) waktu yang tersedia; (d) system sosial warga masyarakat.
6.      Akulturasi
      Akulturasi adalah proses pertukaran ataupun saling mempengaruhi dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya sehingga unsure-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ka dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadianya itu sendiri (Koentjaraningrat,1990:91)
7.      Etnoentrisme
      Etnosentrisme adalah cara pandang bahwa tiap-tiap kelompok cenderung untuk berpikir bahwa kebudayaan dirinya itu adalah superior (lebih baik dan lebih segalanya) daripada semua budaya yang lain. Oleh karena itu, Jandt dalam penjelasanya mengemukakan bahwa etnosntrisme merupakan penghambat ketiga dalam keterampilan komunikasi intercultural setelah kecemasan dan mengumpamakan persamaan sabagai perbedaan.
8.      Tradisi
      Tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan kepercayaan yang cecara turun-temurun (Soekanto,1993:520). Para siswa perlu mempelajari tradisi sebab tidak sedikit dalam kajian tradisi mengandung nilai-nilai keluhuran budi yang tinggi dan sering tidak tersntuh oleh agama maupun budaya global. Namun sebaliknya juga, tadisi tidak selalu berpihak kepada nilai kebaikan bahkan bertentangan dengan nilai hak asasi menusia secara universal.
9.      Ras dan Etnik
      Suatu ras adalah sekelompok orang yang memiliki sejumlah cirri biologi (fisik) tertentu atau suatu populasi yang memiliki suatu kesamaan dalam sejumlah unsure biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh factor hereditas atau keturunan (Oliver,1964:153). Sedangkan etnik sendiri lebih menekankan sebagai kelompok sosial bagian dari ras yang memiliki cirri-ciri budaya yang sifatnya unik (Marger,1985:7)
10.  Stereotip (Stereotype)
      Stereotip adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu stereos yang berarti solid dan tupos yang berarti citra dan kesan. Stereotip mulanya adalah suatu rencana cetakan yang begitu begitu terbentuk sulit diubah.
11.  Kekerabatan (Kinship)
      Istilah kekerabatan atau kinship menurut antropolog Robin Fox, merupakan konsep inti dalam antropologi. Konsep kekerabatan tersebut merupujuk kepada tipologi klasifikasi kerabat (kin) menurut penduduk tertentu berdasarkan aturan-aturan keturunan (descent)dan aturan-aturan perkawinan.
12.  Magis
      Konsep magis menurut seorang pendiri antropologi di Inggris E.B. Taylor, merupakan ilmu pseudo dan salah satu khayalan yang paling merusak yang pernah menggerogoti umat manusia. Anggapan bahwa magis merupakan sesuatu yang “di luar akal sehat”, hal ini mendapat tantangan dari beberapa antropolog, mereka melihat itu sebagai penyakit ilmuwan atau arogansi yang bersifat etnosentis dari kalangan akademisi Barat (Willis,2000:601).
13.  Tabu
      Istilah tabu berasal dari bahasa Polinesia yang berarti terlarang. Secara spesifik, apa yang dikatakan terlarang adalah persentuhan antara hal-hal duniawi dan hal yang keramat, termasuk yang suci (misalny, persentuhan dengan ketua suku) dan yang cemar (mayat). Ditinjau dari aspek historisnya, beberapa antropolog (Douglas,1996; Chesterfield,1957; Turner,1969) menjelaskan latar belakang lahirnya tabu sebagai berikut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat berbagai keganjilan dan anomali. Untuk mengatasi keganjilan dan anomaly itu terdapat tiga kemungkinan berikut.
a.       Ditindas dan dibasmi
b.      Anomaly dianggap sesuatu yang jahat dan cemar.
c.       Anomaly diterima sebagai mediator antara yang suci dan yang cemar atau antara alam dan budaya.
14.  Perkawinan
      Agak sulit untuk mendefinisikan perkawinan, karena setiap istilah perkawinan tersebut memiliki banyak bentuk yang dipengaruhi oleh system nilai budaya masing-masing. Namun, secara umum konsep perkawinan tersebut mengacu kepada proses formal pemaduan hubungan dua individu yang berbeda jenis (walaupun kaum lesbi pun terjadi, namun itu bagian kasus) yang dilakukan secara serimonia-simbolis dan makin dikarakterisasi oleh adanya kesederajatan, kerukunan, dan kebersamaan dalam memulai hidup baru dalam hidup berpasangan.

F.                 GENERALISASI-GENERALISASI ANTROPOLOGI

1.      Kebudayaan
      Dalam mengapresiasi budaya bangsa, setiap kebudayaan di samping memiliki kelemahan juga memiliki keunggulan. Oleh karena itu, tidak aka nada suatu bentuk kebudayaan yang sempurna.
2.      Evolusi
      Evolusi tidak terbatas pada bidang biologi saja, melainkan meluas pada bidang sosial dan kebudayaan. Dalam bidang sosial kita mengenal evolusi universal dari Herbert Spencer, dalam bidang keluarga dikenal evolusi keluarga J.J. Bachoven, dalam bidan agama dan kepercayaan dikenal evolusi animism, religi, da magis dari E.B. taylor dan J.G. Frazer, dalam bidang kebudayaan dikenal evolusi kebudayaan dari E.b. taylor dan L.h. Morgan, serta dalam sosiokultural dikenal evolusi sosiokultural dari Sahlins dan Harris (Sanderson,1995:63).
3.      Culture Area
      Pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsure-unsur budaya lama kea rah pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan budaya itu. Oleh karena itu, jika hendak mencari atau meneliti unsure-unsur budaya kuno maka tempat untuk mendapatkanya adalah di daerah-derah pinggirran sebagai culture areanya (Koentjaraningrat,1987:128).
4.      Enkulturasi
      Pada hakikatnya, proses enkulturasi (proses mempelajari kebudayaan) seseorang terhadap budaya orang lain itu diperlukan, guna menumbuhkakembangkan sikap toleransi dan saling menghargai kebudayaan yang beragam dalam suatu pendidikan multicultural maupun pendidikan global.
5.      Difusi
      Orang dapat saja beranggapan bahwa dengan meluasnya unsure-unsur budaya megalith Mesir kuno, yang berada di kawasan Afrika, Laut Tengah, Mesopotamia, India, Indonesia, Polinesia, sampai ke amerika, kemudian menyimpulkan bahwa telah terjadi proses difusi budaya heliolitic (Koentjaraningrat,1987:120).

6.      Akulturasi
      Dalam proses akulturasi, biasanya budaya overt atau lahiriah jauh lebih mudah berkembang disbanding budaya covert atau tersembunyi (Linton,1984:458).
7.      Etnosentrisme
      Pada hakikatnya, setiap bangsa memiliki etnosentrisme atau penilaian yang baik terhadap sikap-sikap dan pola kebudayaan kelompoknya sendiri, hanya intensitasnyalah yang berbeda-beda, ada yang hanya sedikit dan ada pula yang sangat etnosentris. Suatu bangsa, semakin tnggi etnosentrismenya, akan semakin memperbanyak saingan dan lawan dalam kehidupan di dunia internasional.
8.      Tradisi
      Bagi pendukung antropologi aliran fungsiolnalisme, tradisi pada hakekatnya adalah aktivitas kebudayaan yang bermaksud untuk memuskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahkluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupan.
9.      Ras dan Etnik
      Ras merupakan suatu konsep biologi yang valid. Tidak hanya sekedar menggambarkan morfologinya, yakni struktur fisik yang dapat diamati, melainkan juga komposisi genetic sub-sub bagian spesies itu, seperti gen untuk golongan darah dan untuk protein-protein spesifik. Sedangkan konsep etnik lebih merujuk kepada kesatuan-kesatuan sosial dalam system sosial atau kebudayaan yang memiliki arti atau kebudayaan tertentu karena keturunan, adat, agam, bahasa, dan sebagainya. Dalam kaitanya dengan kapabilitas tiap ras dan etnis, tidak ada didunia ini yang menjadi ras dan etis yang superior atau inferior.
10.  Stereotip
      Berkembangnya prasangka dan stereotip antar etnik yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu factor penyebab hambatan dalam mewujudkan multikulturalisme bangsa Indonesia, pada giliranya akan memperlemah rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
11.  Kekerabatan
      Ikatan ibu dan anak dapat diamati dan dinilai secara universal, tetapi peran ayah maupun ibu dalam masyarakat tradisional sangatlah bervariasi. Oleh karena itu, system kekerabatan pada masyarakat tradisional tidak dapat digeneralisir secara universal.
12.  Magis
      Magis memang kejam, jahat, dan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tetapi perkembangan magis yang pernah mengalami masa-masa jaya pada masa kehidupan primitive di setiap masyarakat, tidak dapat dipandang sebagai masa lampau yang “hitam” dan penghalang segi-segi keagamaan. Sebab masa primitive pun merupakan bagian penggambaran tahapan perkembangan umat manusia secara keseluruhan (Pals.2001:61).
13.  Tabu
      Pada setiap tatanan masyarakat tradisional, tabu selalu ada. Dalam pandangan kaum fungsionalis, tabu pun memiliki nilai-nilai kegunaan yang perlu dijaga oleh masyarakatny dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya (Koentjaraningrat,1987:171).
14.  Perkawinan
      Pada semua masyarakat, untuk mengatur proses pemilihan pasangan dan perkawinan memiliki norma atau peraturan yang begitu kompleks. Upacara perkawinan merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan. Seorang pemuda dan pemudi dewasa secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan kewajiban baru. Ia pun menandakan adanya persetujuan masyarakat atas ikatan itu (Goode,2002:64).
 






G.                TEORI-TEORI ANTROPOLOGI

            Sejumlah besar antropolog sampai Malinowski menyatakan bahwa hendaknya tujuan yang dijangkau oleh etnografi adalah menyingkap hal-hal yang harus diketahui seseorang agar mampu mengenal dan menjelajahi seluk beluk suatu budaya tertentu. Jika kita ingin menghasilkan catatan yang mengemukakan bagaimana budaya itu menurut penglihatan seorang warganya, kita harus berupaya membuat catatan sesuai dengan konsep-konsep, kategori, dan tafsir warga budaya itu sendiri. Tetapi jiika memandang penjelasan etnografis sebagai bagian dari suatu bangunan teori yang menjelaskan cara pembentukan, pelestarian dan perubahan budaya maka kita tidak akan puas dengan pandangan dari dalam mengenai sistem tersebut.
            Pihak-pihak yang tidak setuju jika antropologi dipandang sebagai ilmu agaknya berpandangan terlalu sempit mengenai ilmu tersebut. Pandangan yang nyaris merangkum seluruh jiwa dan upaya ilmiah adalah yang melihat ilmu pengetahuan sebagai metode intelektual atau dalam ungkapan Ernes Nagel (1959) seperangkat litany logika untuk menguji klaim atas pengetahuan. Begitu pula dalam kata-kata Karl Popper (1962) yang cukup tepat, sains adalah suatu proses menebak dan membuktikan kesalahan tebakan. Artinya, dalam ilmu mangajukan tebakan-tebakan berani mengenai keadaan dunia, kemudian berusaha membuktikan kesalahan tebakan-tebakan itu.
            Sejauh Antropologi ingin benar-benar memahami pola-pola umum dan regularitas fenomena kebudayaan, tidak ada alasan untuk menyangkal statusnya sebagai ilmu. Menurut pandangan, ilmu-ilmu sosial bersifat ideografis (partikularistik) dan tidak bersifat nomotetis (menggeneralisasi). Bagi pendukung gagasan itu, sasaran ilmu social bukanlah perumusan system penjelasan umum, melainkan lebih cenderung pada pengorganisasian dan presentasi data dengan cara tertentu, menjadikan data itu dapat dipahami melalui suatu proses pemahaman dan empati individual yang menurut Dilthey dan Weber disebut verstehen (Kapplan dan Manners, 1999:35).
            Proses empati atau verstehen tersebut dapat menghasilkan konsep dan hipotesis, kendati verstehen seseorang dapat berbeda dengan yang lain. Keuntungan heuristik dan keterbatasan praktis penggunaan pemahaman empatik (verstehen) itu sebagai teknik penelitian ilmu social telah diringkas secara cermat dan meyakinkan oleh Charles Frankel. Ilmu tidak serta-merta merupakan metode untuk menghasilkan teori. Karena teori merupakan tindak kreatif yang lahir dari pikiran yang menggenggam informasi dan berdisiplin. Ilmu hanyalah suatu metode, suatu cara intelektual untuk memperkecil kekeliruan. Pada hakikatnya pemahaman dan kemungkinan dipahami adalah proses psikologis berbeda-beda antara seseorang dengan orang lain. Sesuatu yang sedang dan harus kita lakukan dalam antropologi adalah pengetahuan yang terbuka untuk umum dan andal mengenai hal-ihwan sosiokultural.
            Ada perbedaan hakiki yang dapat membantu menjelaskan sifat teori antropologi yang serba relatif. Perbedaan itu pula yang mendorong antropologi kurang memiliki kesejatian ilmu dalam terminology ahli logika. Menurut Kapplan dan Manners (1999:37), perbedaannya itu mencakup historisitas atau kesejarahan, sistem terbuka, isu-isu sosial, dan ideologi.
Historisitas atau kesejarahan dalam ilmu-ilmu alam teori-teorinya bersifat statis dan universal, sedangkan dalam antropoligi bersifat dinamis dan kontelektual.
Sistem terbuka maksudnya dalam kajian antropologi banyak variable-variabel yang tidak dapat dikontrol. Denga tidak terkontrolnya variabel-variabel tersebut maka variabelnya jauh lebih banyak probalistiknya dan terbuka.
Isu-isu sosial maksudnya bahwa dalam kajian antropologi sangat peka terhadap isu-isu sosial pada jamannya, bahkan kerap kali merasa bahwa justru itu adalah tugasnya untuk memecahkan masalah tersebut.
Ideologi bahwa dalam antropologi sering dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstra ilmiah, misalnya implikasi moral atau yang dianggap sebagai implikasi moral dari sesuatu teori. Sering terjadi teori-teori antropologi yang ditolak, penyebabnya semata-mata karena dianggap “deterministik” maupun “merendahkan martabat manusia” dan lain sebagainya.

1.      Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn
Menutut teori ini, hal-hal yang paling tinggi nilainya dalam tiap kebudayaan hidup manusia yaitu ada 5 hal yang disebut value orientations atau orientasi nilai budaya :
a.      Human nature atau makna hidup manusia
Kebudayaan menganggap bahwa hidup itu adalah sumber keprihatinan dan penderitaan maka kemungkinan variasi konsepsi orientasi nilai budayanya dirumuskan dengan kata evil. Sebaliknya dalam banyak kebudayaan yang menganggap hidup itu adalah sumber kesenangan dan keindahan, dirumuskan dengan kata good.
b.      Man nature atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitar
Kebudayaan yang mengkonsepsikan alam sedemikian dahsat dan sempurna sehingga manusia sepatutnya tunduk saja kepadanya. Namun terdapat kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak dini, walaupun alam bersifat ganas. Nalar manusia harus mampu menjajaki rahasia-rahasia untuk menaklukan dan memanfaatkan guna memenuhi kebutuhan.
c.       Time, yaitu persepsi manusia mengenai waktu
Kebudayaan yang mementingkan masa sekarang, sementara banyak pula yang berorientasi ke masa depan. Kemungkinan besar untuk tipe pertama adalah pemborosan, sedangkan untuk tipe kedua adalah manusia yang hemat.
d.      Activity, yaitu masalah makna dari pekerjaan, karya, dan amal dari perbuatan manusia
Kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk mencari makan, selain untuk bereproduksi, dengan rumus being, lalu kebudayaan menganggap bahwa hidup itu lebih luas daripada bekerja, seperti menolong orang lain, dikelompokan dalam kata doing.
e.       Relational, yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia
Kebudayaan sejak awal untuk hidup bergotong-royong serta menghargai terhadap perilaku pemuka-pemukanya sebagai acuhan kebudayaan sendiri. Sebaliknya banyak kebudayaan yang menekankan hak individu untuk mandiri maka orientasinya adalah mementingkan mutu dari karyanya, bukan atas senioritas kedudukan, pangkat, maupun status sosialnya.

2.      Teori Evolusi Sosiokultural Paralel-Konvergen-Divergen Sahlins dan Harris
Evolusi menyangkut suatu pembentangan atau perkembangan, dimana sistem sosiokultural mulai menyadari kemungkinan potensial yang sejak awal melekat didalam dirinya. Ini menyiratkan bahwa evolusi adalah gerakan ke arah tujuan akhir, bahwa berbagai masyarakat berkembang dengan cara yang sama sehingga embrio yang matang menjadi organisme yang sehat yang hidup di luar tubuh induknya.

Menurut dua antropolog yakni Marshall Sahlins (1960) dan Marvin Harris (1968) bahwa :
a.       Evolusi sosiokultural meluputi seluruh sistem sosiokultural maupun komponen-komponen yang terpisah dari sistem tersebut. Biasanya terjadinya perubahan berawal dari suatu komponen atau subkomponen yang menimbulkan perubahan-perubahan pada komponen yang lain.
b.      Evolusi sosiokultural bukanlah proses tunggal, unitary terjadi dengan cara yang sama pada seluruh masyarakat. Sebagaimana evolusi biologis, evolusi sosiokultural memiliki karakter ganda. Pada satu sisi ia merupakan proses yang meliputi transformasi menyeluruh pada masyarakat manusia. Namun disisi lain evolusi sosiokultural memperlihatkan diversifikasi adaptif yang mengikuti bayak garis yang berbedabeda dalam banyak masyarakat.
c.       Pembedaan tersebut dapat dirinci sebagai evolusi parallel, evolusi konvergen, dan evolusi evolution.
d.      Evolusi parallel merupakan evolusi yang terjadi dalam dua atau lebih sosiobudaya atau masyarakat yang berkembang dengan cara yang sama dan dengan tingkat yang pada dasarnya sama.
e.       Evolusi konvergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula berbeda perkembangannya, namun akhirnya mengikuti pola yang serupa kemajuannya.
f.       Evolusi divergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula mengikuti banyak persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai tingkat perkembangan yang jauh berbeda.

3.      Teori Evolusi Kebudayaan Lewis H. Morgan
Delapan tahap tentang evolusi kebudayaan secara universal dalam karya berjudul Ancient Society (1987) adalah :
a.       Zaman Liar Tua, merupakan zaman sejak adanya manusia sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan kepandaian meramu dan mencari akar-akar tumbuhan liar.
b.      Zaman Liar Madya, merupakan zaman dimana manusia menemukan senjata busur dan panah. Pada zaman ini pula manusia mulai mengubah mata pencahariannya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai sebagai pemburu.
c.       Zaman Liar Muda, zaman ini manusia dari persenjataan busur dan panah sampai mendapatkan barang-barang tembikar, namun kehidupannya masih berburu.
d.      Zaman bar-bar tua, zaman ini sejak pandai membuat tembikar sampai mulai beternak maupun bercocok tanam.
e.       Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai kepandaian membuat alat-alat logam sampai mengenal tulisan.
f.       Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia memiliki kepandaian membuat alat-alat dari logam sampai mengenal tulisan.
g.      Zaman Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam.
h.      Zaman Peradaban Masa Kini, sejak zaman peradaban tua atau klasik sampai sekarang.

4.      Teori Evolusi Animisme dan Magic dari Taylor dan Frazer
Karya yang banyak berhubungan dengan teori agama, magis, dan sihir, yang secara garis besar inti teorinya sebagai berikut :
a.       Animisme adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup dibalik semua benda. Animis merupakan pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama.
b.      Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal :
·         Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati.
·         Peristiwa mimpi dimana ia melihat dirinya ditempat yang lain yang menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmani dan rohani atau jiwa.
c.       Manusia memecahkan beberapa persoalan hidupnya selalu dengan akal dan sistem pengetahuannya. Tetapi kemampuan akal dan sistem pengetahuan manusia terbatas, maka ia pun menggunakan magis atau ilmu gaib.
d.      Ilmu gaib semula hanya untuk mengatasi pemecahan masalah hidup manusia yang berada di luar kemampuan akan dan sistem pengetahuannya, saat itu agama belum ada.
e.       Karena penggunaan magic tidak selalu berhasil maka mulailah ia yakin bahwa alam semesta dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia. Dari anggapan ini manusia berusaha menjalin hubungan dengan makluk halus dan timbullah agama.
f.       Agama dan magic berbeda. Agama sebagai cara mengambil hati untuk menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan manusia. Sedangkan magic sebagai usaha untuk memanipulasikan hukum-hukum alam tertentu yang dipahami, semacam ilmu pengetahuan semu.
g.      Prinsip utama dari magic yaitu :
·         Like produce like (persamaan menimbulkan persamaan) atau magic simpatetis.
·         Prinsip magic senggol (contagious magic), yaitu benda atau manusia yang pernah saling berhubungan, sesungguhnya dapat saling mempengaruhi, kendatipun hanya seutas rambut, kuku, gigi, dan sebagainya.